Senin, 10 Agustus 2009
Pertamina Dapatkan PSC CBM ke Dua
Rabu, 17 Juni 2009
Gas Metana Batubara (CBM) Menelan Korban
"Korban kali ini memang yang terbesar. Namun kejadian seperti ini bukan yang pertama di kawasan itu. Sejak 1997, hampir 1000 penambang rakyat tewas dengan penyebab yang sama, yakni pekerja yang tidak memenuhi kualifikasi dan peralatan yang tidak memenuhi standar penambangan yang aman. Besarnya korban jiwa itu boleh ditanyakan pada masyarakat sekitar," ujarnya.
Ade mengatakan, penambangan yang dilakukan oleh masyarakat itu sangat tinggi risikonya. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan alat yang digunakan para penambang. Apalagi para penambang itu melakukan penambangan dalam dengan membuat lorong hingga 300 meter ke dalam tanah.
Lebih lanjut Ade mengatakan, meski hampir setiap minggu selalu ada korban jiwa, namun masyarakat nyaris tidak pernah melaporkannya pada pihak yang berwenang. Begitu ada korban tewas, mereka berupaya menyembunyikan dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Tujuannya jelas untuk menghindari tindakan dari pihak berwenang dan aktivitas penambangan di sana tetap berlangsung.
"Ledakan gas metan kali ini juga terjadi karena pelanggaran yang dilakukan pengelalola dan pekerja tambang rakyat itu. Pemerintah kota Sawahlunto pada Desember lalu sudah mengingatkan bahwa ada peningkatan kadar gas metan sampai 2 persen yang sangat berbahaya bagi aktivitas penambangan namun tidak diacuhkan," ujar Ade yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumbar.
Ade mengatakan, pemerintah daerah harus secepatnya menghentikan penambangan yang dilakukan masyarakat di sana. Selain berbahaya, areal pertambangan itu juga dikuasai negara.
"Saya tidak mengatakan bahwa kawasan itu tidak dapat diekploitasi. Ke depan, proses penambangan benar-benar harus dilakukan oleh para pekerja yang memenuhi kualifikasi, cara kerja standar dan menggunakan peralatan yang memenuhi tuntutan keamanan," tukasnya.
Selasa, 16 Juni 2009
Perjudian Bisnis Dua Mantan Top Profesional di Bidang Migas
Pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan bijak ini menjadi pegangan W. Yudiana Ardiwinata dan Sammy Hamzah untuk banting setir dan pindah kuadran. Bermodal pengalaman mereka yang panjang di perusahaan migas multinasional, plus pengetahuan dan jejaring yang luas, keduanya mengikat janji mengembangkan bisnis bersama.
Minggu, 14 Juni 2009
Regulasi Bisnis CBM dan Prediksi Dampaknya terhadap Penurunan Produksi Migas Indonesia
Sebagai bisnis baru di bidang energi fosil, khususnya di Indonesia, bisnis CBM mengandung banyak resiko. Paper ini akan mengangkat resiko dari sisi regulasi dan implikasinya terhadap penurunan produksi migas Indonesia di masa mendatang.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 dan revisinya No. 36 Tahun 2008, wilayah pengembangan CBM meliputi wilayah terbuka, wilayah PKP2B dan KP batubara serta WK Migas. Konsekuensinya, wilayah-wilayah pertambangan maupun migas eksisting menjadi terbuka dan resiko tumpang tindih wilayah kerja tidak dapat dihindari.
Kondisi ini mengandung beberapa resiko. Dampak yang nyata dari resiko permukaan (surface) akibat tumpang tindih dengan PKP2B dan KP Batubara adalah rusaknya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, akibat eksploitasi batubara. Resiko bawah permukaan (subsurface) akibat tumpang tindih WK Migas dengan WK CBM juga akan timbul karena ada kemungkinan dihasilkan migas & CBM secara bersamaan, terutama pada reservoir yang relatif dangkal.
Di samping itu, terdapat resiko administrasi pertanahan dan infrastruktur penunjang. Untuk pengembangan CBM, diperlukan relatif lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi pada luas area yang sama. Oleh karena itu, pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpang tindih memiliki resiko yang cukup tinggi.
Mitigasi ketiga resiko tersebut harus disiapkan sejak dini untuk menantisipasi kegiatan operasional yang berjalan bersamaan. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka produksi migas di lapangan migas eksisting akan menurun. Lebih jauh, hal ini akan berdampak pada terganggunya produksi migas nasional di masa depan.
Melihat strategisnya persoalan tersebut, penulis memandang perlunya dibuat suatu peraturan perudang-undangan, minimal setingkat peraturan menteri, untuk mengatur kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest) di tingkat operasional dalam pengusahaan minyak & gas bumi, CBM dan batubara.
Jumat, 29 Mei 2009
Gas Metana Batubara (CBM) Energi Masa Depan
Rabu, 27 Mei 2009
EMP Raih 2 Kontrak Gas Metana Batubara di Kalimantan
Regulasi Bisnis CBM di Indonesia
Peraturan Menteri No.36 Tahun 2008 merupakan revisi dari Peraturan Menteri No.33 Tahun 2006. Permen tersebut direvisi menyusul adanya berbagai persoalan terkait dengan tumpang tindih antara WK Migas dengan KP Batubara. Perubahan signifikan dari Permen 33 ke 36 adalah menyangkut persyaratan KP Batubara yang mendapatkan prioritas pertama dalam pengusahaan CBM di wilayah kerja yang tumpang tindih.
Dalam Permen ESDM No.36 Tahun 2008, dinyatakan dengan tegas bahwa hanya KP Batubara yang statusnya sudah eksploitasi selama tiga (3) tahun, yang mendapatkan prioritas pengusahaan CBM di wilayah tumpang tindih. Untuk KP yang statusnya masih penyelidikan umum atau pun eksplorasi, tidak mendapatkan kesempatan pertama dalam pengusahaan CBM tersebut.
Namun demikian, dalam pasal peralihan dinyatakan bahwa KP yang sudah mengajukan Evaluasi Bersama wilayah kerja CBM sebelum Permen 36 lahir, masih mendapatkan kesempatan pertama (meskipun statusnya belum eksploitasi). Hal ini membuat persoalan yang telah muncul sebelumnya menjadi tidak mudah untuk diselesaikan. WK Migas yang areanya tumpang tindih dengan WK CBM, masih harus mengakomodir KP-KP Batubara tersebut. Persoalan bertambah runyam, ketika melihat prosedur perijinan dan perpanjangan KP Batubara, sebelum UU Minerba No.4 Tahun 2009 lahir, berada di tingkat kabupaten/kota. Perpanjangan ijin KP di tingkat kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan sangat mudah, seolah tanpa kontrol dari aparat Pemda setempat.
Di luar persoalan tumpang tindih wilayah kerja tersebut, persoalan lain yang sifatnya teknis pun belum sepenuhnya diatur oleh Pemerintah. Saat ini, Pemerintah baru akan menyusun petunjuk pelaksanaan (Juklak) teknis, commersial dan legal, yang merupakan penjabaran dari Permen 36 tahun 2008 tersebut. Semoga berjalan lancar!
Selasa, 26 Mei 2009
PHE Kembangkan Gas Metana Batubara
Gas Metana Batubara Indonesia Capai 450 TCF
Sementara itu Wakil Gubernur Sumsel, H Eddy Yusuf mengatakan, GMB ini bukan batubaranya, tetapi gas metananya dan ini yang baru, jadi potensi gas metana ada di dua kepulauan yakni di Kalimantan dan Sumatera. Untuk Sumsel sendiri dibagi menjadi dua blok yakni blok Muara Enim area dan blok Muba area ini yang ditawarkan, nanti mereka akan mengadakan penelitian dan memantapkan titik-titik koordinat wilayahnya baru setelah itu koordinasi lagi dengan bupati-bupati masing-masing. Sekarang ini, investor yang ada sudah lebih dari dua dan memang potensi GMB di Sumsel ada, tetapi tidak sebanyak yang berada di Kalimantan, ujarnya pula tanpa menyebut berapa besar potensi GMB di provinsi tersebut.
6 Kontrak Gas Metana Batubara Diteken Mei 2009
Tiga Titik Gas Metana Batubara di Kaltim
Gas Metana Batubara di Kaltim
Wilayah Kerja Kontraktor
- South East Sangatta : PT Kutai Timur Resources – Salamander Energy (SE Sangatta) Ltd.
- GMB Kutai : Kutai West CBM Inc – Newton Energy Capital Ltd.
- GMB Sangatta I : PT PHE Metana Kalimantan A – Sangatta West CBM Inc.
Penandatanganan 2 KKS WK Gas Metana Batubara
- GMB Indragiri Hulu, Riau - Konsorsium PT. Samantaka Mineral Prima
- GMB Bentian Besar, Kalimantan Timur - Konsorsium PT. Ridlatama Mining Utama