Senin, 10 Agustus 2009

Pertamina Dapatkan PSC CBM ke Dua

PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai armlength business PT Pertamina (Pesero) Direktorat Hulu terus berupaya melakukan sejumlah terobosan.Salah satu terobosan tersebut diwujudkan melalui pengajuan Wilayah Kerja PSC Gas Metana Batubara (GMB) yang sudah ditandatangani melalui Production Sharing Contract (PSC) GMB di wilayah Block Sangatta 2 bersama dengan PT Visi Multi Artha, anak perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC).
"Untuk pengamanan aset existing migas tidak ada cara lain selain terjun dalam bisnis GMB yang merupakan salah satu sumber energi alternatif pilihan untuk program diversifikasi dan diharapkan mampu mengatasi shortage kebutuhan gas secara nasional, "ujar Dwi Martono, Direktur PT. PHE Metana Kalimantan B.
"Setelah menandatangani PSC tersebut, maka konsorsium akan melakukan komitmen masa eksplorasi selama tiga tahun pertama dengan melakukan pemboran empat core-hole dan empat sumur eksporasi dengan perkiraan total nilai investasi sebesar 10 juta dolar AS selama tiga tahun pertama," jelas Dwi.
Dwi melanjutkan, setelah masa eksplorasi selama tiga tahun pertama, apabila dipandang masih belum menemukan dan menghasilkan cadangan gas metana batubara, secara ekonomis masih diberikan kesempatan untuk eksplorasi tahap kedua selama tiga tahun berikutnya.
"Apabila berhasil, maka diharapkan produksi pertama gas GMB dari Blok Sangatta II bisa on stream pada tahun ke-7 sehingga dapat memasok kebutuhan gas untuk industri dan rumah tangga di sekitar wilayah operasi di Kalimantan Timur, tambah Dwi Martono.
Bagi PHE, penandatanganan PSC GMB Blok Sangatta II ini merupakan perjanjian kerjasama PSC GMB kedua. Sebelumnya, melalui anak perusahaannya, yaitu PT PHE Metana Kalimantan A yang bekerjasama dengan Sangatta West CMB Inc, telah menandatangani PSC untuk Blok Sangatta I. "Dan akan menyusul untuk daerah di Sumatera Selatan Blok 1, 2 dan 3 melalui metoda kerjasama dengan pihak Partner,"ujar Dwi.
Dwi memaparkan, GMB atau dikenal juga dengan CMB (Coal Bed Methane) kini mulai dilirik untuk dikembangkan setelah banyak pihak mulai menyadari kurangnya cadangan gas nasional.
"Di beberapa negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 40 persen kebutuhan energi dalam negeri sudah dipasok oleh CBM, termasuk di dalamnya pasokan gas rumah tangga dan pembangkit listrik,"ungkap Dwi.
"Ke depan, PHE akan terus mengembangkan bisnis GMB, khususnya di wilayah kerja GMB yang mengalami overlap dengan wilayah kerja migas milik Pertamina di sejumlah blok, antara lain Blok Sumatera Selatan 1, Sumatera Selatan 2, Sumatera Selatan 3, Jambi dan Suban," papar Dwi Martono.

Rabu, 17 Juni 2009

Gas Metana Batubara (CBM) Menelan Korban

Gas metana batubara, atau dikenal juga dengan coalbed methane (CBM), atau sebagian menyebutnya coal seam gas, adalah gas CH4 yang terkandung dalam lapisan batubara. Gas tersebut ter-adsorpsi (terserap dangkal) di permukaan matriks dan pori-pori batubara. Dalam penambangan batubara, khususnya tambang bawah tanah, gas tersebut seringkali menimbulkan ledakan, apabila terkena gesekan atau percikan api.
Beberapa hari yang lalu, terjadi ledakan yang menewaskan lebih dari 32 orang penambang rakyat, di Sumatra Barat. Berikut petikan beritanya:
Sejak 1997, Lebih dari 1000 Penambang Tewas di Kawasan yang Sama
Ledakan tambang yang menimbulkan banyak korban jiwa di kawasan Bukit Bual, Nagari V Koto, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar) ternyata bukan baru kali ini saja terjadi. Bahkan sejak 1997, diperkirakan sudah hampir 1000 penambang tewas karena berbagai sebab di kawasan itu.
Hal itu diungkapkan manajer Satkorlak Penanggulangan Bencana Sumbar, Ade Edward, saat berbincang-bincang dengan detikcom melalui telepon, Rabu (17/6/2009).
"Korban kali ini memang yang terbesar. Namun kejadian seperti ini bukan yang pertama di kawasan itu. Sejak 1997, hampir 1000 penambang rakyat tewas dengan penyebab yang sama, yakni pekerja yang tidak memenuhi kualifikasi dan peralatan yang tidak memenuhi standar penambangan yang aman. Besarnya korban jiwa itu boleh ditanyakan pada masyarakat sekitar," ujarnya.
Ade mengatakan, penambangan yang dilakukan oleh masyarakat itu sangat tinggi risikonya. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan alat yang digunakan para penambang. Apalagi para penambang itu melakukan penambangan dalam dengan membuat lorong hingga 300 meter ke dalam tanah.
Lebih lanjut Ade mengatakan, meski hampir setiap minggu selalu ada korban jiwa, namun masyarakat nyaris tidak pernah melaporkannya pada pihak yang berwenang. Begitu ada korban tewas, mereka berupaya menyembunyikan dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Tujuannya jelas untuk menghindari tindakan dari pihak berwenang dan aktivitas penambangan di sana tetap berlangsung.
"Ledakan gas metan kali ini juga terjadi karena pelanggaran yang dilakukan pengelalola dan pekerja tambang rakyat itu. Pemerintah kota Sawahlunto pada Desember lalu sudah mengingatkan bahwa ada peningkatan kadar gas metan sampai 2 persen yang sangat berbahaya bagi aktivitas penambangan namun tidak diacuhkan," ujar Ade yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumbar.
Ade mengatakan, pemerintah daerah harus secepatnya menghentikan penambangan yang dilakukan masyarakat di sana. Selain berbahaya, areal pertambangan itu juga dikuasai negara.
"Saya tidak mengatakan bahwa kawasan itu tidak dapat diekploitasi. Ke depan, proses penambangan benar-benar harus dilakukan oleh para pekerja yang memenuhi kualifikasi, cara kerja standar dan menggunakan peralatan yang memenuhi tuntutan keamanan," tukasnya.
Sumber: detik.com - Rabu 17 Juni 2009

Selasa, 16 Juni 2009

Perjudian Bisnis Dua Mantan Top Profesional di Bidang Migas

Setelah malang melintang sebagai profesional top di perusahaan migas multinasional, W. Yudiana Ardiwinata dan Sammy Hamzah memberanikan diri terjun sebagai pengusaha migas di bidang yang sama sekali baru: coal bed methane. Bagaimana kans mereka di bisnis berisiko tinggi ini?
Pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan bijak ini menjadi pegangan W. Yudiana Ardiwinata dan Sammy Hamzah untuk banting setir dan pindah kuadran. Bermodal pengalaman mereka yang panjang di perusahaan migas multinasional, plus pengetahuan dan jejaring yang luas, keduanya mengikat janji mengembangkan bisnis bersama.
Di industri migas, mereka berdua memang sarat pengalaman dan sama-sama eksekutif top. Terakhir, mereka bertemu dan berkolaborasi dalam satu grup usaha migas di bawah naungan raksasa minyak Chevron Corporation. Yudi memegang posisi Presdir PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), adapun Sammy sebagai VP Senior Business Services Chevron IndoAsia Business Unit. Seperti bisa dibaca dalam Wikipedia, CPI adalah anak perusahaan Chevron Corporation yang menggarap minyak di Riau. Sebelum diambil alih Chevron, perusahaan ini bernama Caltex Pacific Indonesia. CPI merupakan perusahaan minyak kontraktor terbesar di Indonesia, dengan produksi mencapai 2 miliar barel. Tahun 2005, Caltex diakuisisi oleh Chevron. Maka, sejak itu nama PT Caltex Pacific Indonesia resmi berubah menjadi PT Chevron Pacific Indonesia.
Dalam struktur organisasinya, CPI merupakan salah satu perusahaan di bawah payung Chevron IndoAsia Business Unit. Lebih lengkapnya, Chevron IndoAsia Business Unit mencakup bisnis migas yang membawahkan beberapa perusahaan, yakni: Chevron Indonesia Company (dulu bernama PT Unocal Indonesia); Chevron Pacific Indonesia; Chevron Makassar Ltd.; serta bisnis panas bumi yang digarap oleh Chevron Geothermal Indonesia, Chevron Geothermal Salak, Mandau Cipta Tenaga Nusantara, dan Chevron Geothermal Phillipines.
Bergabungnya biduk tempat Yudi dan Sammy berkarier membuat hubungan keduanya makin erat. Hingga tercetus suatu keinginan bersama untuk membentuk perusahaan sendiri. Tak mau menyia-nyiakan perjalanan karier mereka selama ini, bisnis yang mereka kembangkan tidak jauh dari kompetensi inti dan kapabilitas mereka, yakni bidang migas.
Sebelum memutuskan mendirikan usaha sendiri, Yudi sempat menolak tawaran jabatan komisaris CPI untuknya. Ia memilih mengundurkan diri. Begitu pula dengan Sammy. “Saya sudah menjadi profesional dan bekerja di perusahaan orang lain lebih dari 16 tahun. Jadi sekarang waktu yang tepat untuk mengembangkan bisnis sendiri,” ujar Sammy tegas.
Di Jl. Kemang Selatan 1E No. 17 Jakarta, embrio perusahaan dirumuskan. Di situ mereka banyak melakukan brainstorming dan perumusan konsep. Visi mereka adalah melahirkan perusahaan nasional pertama yang menggarap bisnis energi gas metana batu bara – yang lebih populer disebut coal bed methane (CBM).
Pada akhir 2005 berdirilah PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo), dengan komposisi saham fifty-fifty. Yudi sebagai Chairman dan Sammy sebagai Presiden & CEO. Ternyata, Ephindo bukan satu-satunya perusahaan yang mereka besut. Menurut Yudi, ada dua jenis bisnis lain di industri migas yang juga mereka garap, yakni bidang offshore deep sea water di bawah PT Black Gold Energy; dan jasa survei seismic marine lewat PT Emas Putih bekerja sama dengan BPPT dan Elnusa.
Mengapa Ephindo sebagai perusahaan utama mereka memilih CBM? Keduanya berkeyakinan bahwa potensinya masih sangat besar dibanding potensi migas konvensional yang tersisa. Dijelaskan Yudi, batu bara memang banyak mengandung gas, tapi gas yang ada di permukaan tambang batu bara, sudah keluar lebih dulu. Nah, CBM itu letaknya di dalam rekahan batu bara, yang dalamnya bisa 500 meter lebih, dan biasanya terselimuti air. Kalau dibor dengan cara dewatering, airnya akan tersedot membuat tekanannya menurun, sehingga gasnya keluar. “CBM merupakan proyek yang potensial, karena menjadi energi alternatif dari gas konvensional,” ucap Sammy, yang juga pendiri CBM Advisory Board.
Menurut penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Ditjen Migas Departemen ESDM, potensi CBM di Indonesia cukup luar biasa, mencapai 453,3 triliun kaki kubik (TCF). Sayangnya, masih sedikit pemain migas nasional yang menyatakan minatnya. Jadi boleh dibilang, Ephindo merupakan pionir. Padahal, di negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, India dan Cina, pengeboran CBM sudah dilakukan.
Selain potensinya masih sangat besar, berdasarkan sebuah hasil riset, CBM secara relatif bukan pula termasuk bisnis migas berbiaya tinggi. Bandingkan dengan unit bisnis migas konvensional, yang membutuhkan teknologi baru dan investasi besar. Contohnya, investasi untuk bisnis deep sea water bisa mencapai US$ 200 juta per sumur; sedangkan investasi untuk CBM hanya US$ 500 ribu-1,5 juta per sumur. “Bisnis ini cocok bagi perusahaan kecil seperti kami, karena tidak perlu investasi gila-gilaan,” ucap Sammy.
Meskipun menjanjikan keuntungan yang besar, diakui Sammy, risikonya cukup tinggi. Pasalnya, sebagai pemain mereka belum mengetahui persis seberapa besar kandungan gasnya. Solusinya, perusahaan harus bisa memperbaiki informasi tentang besarnya cadangan (reservoir). Dengan informasi yang ada saat ini Ephindo dituntut bisa membuktikan bahwa potensi CBM bisa dimanfaatkan secara komersial. “Itu pekerjaan rumah yang akan kami lakukan,” kata pria kelahiran Jakarta 24 Januari 1963 dan mantan suami artis Desy Ratnasari itu.
Sebenarnya, untuk merangsang minat perusahaan lain terjun ke CBM, pemerintah telah memberikan tawaran split (bagi hasil) yang cukup menarik dalam kontrak, yakni 55% pemerintah dan 45% kontraktor. Bandingkan untuk migas, yang split-nya 70%:30% hingga 35%:65%, tergantung tingkat kesulitannya. “Pemerintah memberikan split yang lebih bagus dari bisnis migas (konvensional), karena CBM belum pernah dilakukan,” ujar Yudi.
Kendati CBM merupakan garapan bisnis baru dan risikonya tinggi, keduanya tetap optimistis Ephindo mampu. Sebab, diklaim Yudi, Ephindo memiliki mitra yang berpengalaman dan ahli di bidangnya. Saat ini, Ephindo sedang dalam proses due diligence dengan Arrow Energy, perusahaan asal Australia yang berpengalaman di proyek CBM. “Dengan adanya partner yang tangguh dan orang yang ahli, kami optimistis ini akan berhasil,” kata pria kelahiran Garut 6 November 1949 ini.
Selain itu, optimisme Yudi juga karena ditopang pengalaman dan jejaring yang luas. “Saya tahu siapa-siapa saja orang yang dibutuhkan dan harus dihubungi,” bapak tiga anak dan kakek lima cucu ini menandaskan. Ditambahkan Sammy, integritas dan konsistensi juga akan menjadi kunci keberhasilan mereka menekuni bisnis CBM ini.
Rencananya, Ephindo siap melakukan proyek pengeboran CBM mulai 2009 ini di Kalimantan dan Sumatera. Menurut Yudi, nilai proyek Sangatta Block di Kal-Tim mencapai US$ 6 juta. Nantinya, bersama dengan Pertamina, Ephindo akan menggandeng Arrow Energy. Sementara itu, proyek di Sekayu Block Sum-Sel ada dua sumur yang akan digali. Pengerjaan proyeknya bekerja sama dengan Medco dan McLaren Resource Inc. “Investasinya memang sangat besar. Selain dari kantong perusahaan sendiri, pendanaannya juga melalui kerja sama dengan beberapa partner,” ungkap Yudi.
Meskipun fokus pada CBM, Ephindo masih memegang pula proyek migas konvensional di Kutai Block, Kal-Tim. Tahun ini, bekerja sama dengan Serica Energy dan Salamander Energy, Ephindo hendak melakukan drilling (pengeboran) yang nilainya hingga US$ 3 juta. “Jika hasil bornya bagus, kami bisa lebih besar lagi karena ada offshore dan onshore,” katanya penuh harap.
Tak hanya itu. Ephindo pun punya rencana melebarkan sayapnya ke bisnis turunan migas, seperti SPBG, antara lain dengan menjadi agen Pertamina. “Kami terus berupaya melihat berbagai peluang. Termasuk sedang menjajaki masuk ke bisnis LPG untuk mendirikan SPBG,” ungkap Yudi. Lewat dua anak perusahaannya, Ephindo sudah mendapat izin mendirikan SPBG di Sukabumi dan Palembang.
Kolaborasi Yudi dan Sammy, dalam penilaian Noke Kiroyan, merupakan pasangan sempurna untuk membangun perusahaan migas. Menurut mantan Presdir Kaltim Primacoal ini, sosok Yudi tidak perlu diragukan lagi di bidang migas. Adapun Sammy, Noke mengaku sudah kenal lama ketika satu perusahaan di Siemens di mana Sammy menjabat Direktur Eksekutif Keuangan dan Administrasi. “Mereka adalah kombinasi yang baik. Pak Yudi berpengalaman dalam migas. Satu lagi eksekutif yang andal dalam administrasi dan keuangan,” ujar Noke memuji.
Noke melihat prospek Ephindo ke depan bakal sangat bagus dari dua bidang yang digeluti. Pertama, ia menilai bisnis CBM merupakan hal yang baru tapi sangat menjanjikan. Kedua dari migas, bidang ini sangat cocok dengan keahlian dua pendiri perusahaan. “Mereka sangat jeli melihat peluang,” ujar Noke.
Di mata Budi Basuki, salah satu mitra bisnis Ephindo, Yudi dan Sammy merupakan profesional yang telah membuktikan keberhasilannya memimpin perusahaan minyak besar dan terpandang. Menurut Budi, mereka berdua juga aktif di berbagai organisasi profesi atau asosiasi di bidang migas. “Proyek CBM Ephindo bersama Medco di Sum-Sel sangat baik, tidak hanya karena potensi cadangannya yang besar ataupun lokasinya yang dekat infrastruktur pipa gas, melainkan pula sebagai perusahaan yang pertama kali mendapatkan blok CBM yang dimotori oleh orang-orang yang sangat berpengalaman di industri migas,” papar Direktur Aset Produksi PT Medco E&P Indonesia, memberi penilaian. Menurut Budi, Medco tertarik untuk melakukan kerja sama setara dengan Ephindo yang sebenarnya perusahaan baru seumur jagung, karena melihat kompetensi pemimpinnya, begitu pula kapabilitas perusahaan yang mempunyai kesamaan tujuan untuk mengembangkan potensi CBM.
Ungkapan senada dikemukakan Pudjo Suwarno. Menurut Direktur Operasional PT MedcoEnergi CBM Indonesia ini, tidak banyak pengusaha nasional yang secara pribadi berani mempertaruhkan uang (aset)-nya untuk terjun ke dunia migas yang penuh resiko. Terutama CBM yang di Indonesia masih sangat baru, berisiko tinggi dan belum ada yang benar-benar mempunyai pengalaman. “Saya pikir, kedua sosok itu merupakan orang-orang yang serius dan berkomitmen terhadap pengembangan industri migas, khususnya CBM,” ucap Pudjo.
Pudjo juga melihat, mereka memulai terjun ke industri migas ini dengan benar, yakni melalui kemitraan. Terutama dengan pemain nasional yang sudah cukup kuat. “Mereka memberi banyak masukan pemikiran untuk membuat industri ini lebih baik dan menarik bagi para investor,” katanya lagi menilai.
Sumber: SWA - Kamis, 02 April 2009
Oleh : A. Mohammad B.S. & Moh. Husni Mubarak

Minggu, 14 Juni 2009

Regulasi Bisnis CBM dan Prediksi Dampaknya terhadap Penurunan Produksi Migas Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi CBM ke dua terbesar di dunia, dengan perkiraan cadangan sebesar 453 TCF. Sampai saat ini, perkembangan bisnis CBM di Indonesia dapat dikatakan masih dalam tahap inisiasi.
Sebagai bisnis baru di bidang energi fosil, khususnya di Indonesia, bisnis CBM mengandung banyak resiko. Paper ini akan mengangkat resiko dari sisi regulasi dan implikasinya terhadap penurunan produksi migas Indonesia di masa mendatang.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 dan revisinya No. 36 Tahun 2008, wilayah pengembangan CBM meliputi wilayah terbuka, wilayah PKP2B dan KP batubara serta WK Migas. Konsekuensinya, wilayah-wilayah pertambangan maupun migas eksisting menjadi terbuka dan resiko tumpang tindih wilayah kerja tidak dapat dihindari.
Kondisi ini mengandung beberapa resiko. Dampak yang nyata dari resiko permukaan (surface) akibat tumpang tindih dengan PKP2B dan KP Batubara adalah rusaknya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, akibat eksploitasi batubara. Resiko bawah permukaan (subsurface) akibat tumpang tindih WK Migas dengan WK CBM juga akan timbul karena ada kemungkinan dihasilkan migas & CBM secara bersamaan, terutama pada reservoir yang relatif dangkal.
Di samping itu, terdapat resiko administrasi pertanahan dan infrastruktur penunjang. Untuk pengembangan CBM, diperlukan relatif lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi pada luas area yang sama. Oleh karena itu, pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpang tindih memiliki resiko yang cukup tinggi.
Mitigasi ketiga resiko tersebut harus disiapkan sejak dini untuk menantisipasi kegiatan operasional yang berjalan bersamaan. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka produksi migas di lapangan migas eksisting akan menurun. Lebih jauh, hal ini akan berdampak pada terganggunya produksi migas nasional di masa depan.
Melihat strategisnya persoalan tersebut, penulis memandang perlunya dibuat suatu peraturan perudang-undangan, minimal setingkat peraturan menteri, untuk mengatur kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest) di tingkat operasional dalam pengusahaan minyak & gas bumi, CBM dan batubara.
by: Mas Dira

Jumat, 29 Mei 2009

Gas Metana Batubara (CBM) Energi Masa Depan

"Era minyak sudah surut, sekarang kita ganti dengan batu bara dan gas. Batu bara dan gas menjadi energi primadona dan paling murah yang berlimpah di negara kita. Saat ini kita mulai eksplorasi gas alam, coal bed methane," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro.
CBM, kata Purnomo, sumbernya melimpah di Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Selatan. "Cadangan CBM secara nasional mencapai 453 triliun standar kaki kubik atau trillionstandard cubic feet (TSCF)," ujarnya.
Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4 TSCF, Pasir/Asem (3 TSCF), Tarakan (17,5 TSCF), dan Kutai (80,4 TSCF). Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah (101,6 TSCF). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TSCF), Sumatera Selatan (183 TSCF), dan Bengkulu 3,6 TSCF, sisanya terletak di Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TSCF) dan Sulawesi (2 TSCF).
Di tempat serupa, Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen ESDM Teguh Pamuji menerangkan, kontrak untuk eksplorasi CBM telah ditandatangi antara PT Emdco Energy dengan PT Ephindo untuk lahan di Blok Sekayu di Kabupaten Musi Banyu Asin (Muba), Sumatera Selatan. "Diharapkan tiga tahun ke depan, atau tahun 2011, CBM sudah dapat dipasarkan," ujar Teguh.
Sebelumnya, PT Petro Muba, Sekayu, Musi banyuasin (Muba), dan PT Epjhindo sepakat bekerja sama mengeksplorasi CBM. Kemudian PT Elnusa Drilling Service, anak perusahaan PT Elnusa, memenangi tender pengerjaan tiga sumur uji coal bed methane (CBM) di lapangan Rambutan SSE Blok Sumatera Selatan. Elnusa dinyatakan menang dalam pelelangan yang diadakan PPPTMGB Lemigas. PT Perusahaan Gas Negara (PGN) akan mengembangkan Coal Bed Methane (CBM) untuk menggantikan gas bumi.
Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan rumah tangga, industri kecil, hingga industri besar. CBM biasanya didapati pada tambang batu bara non-tradisional, yang posisinya di bawah tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara. Agar lebih mengunutngkan, CBM lazimnya dieksplorasi setelah batu baranya habis ditambang.
Sejauh ini, biaya eksplorasi CBM masih lebih tinggi dibandingkan mengekplorasi minyak bumi. Namun, kata teguh, pada satu waktu nanti, biaya akan lebih murah sehingga CBM menjadi energi alternatif baru yang dapat dimanfaatkan masyarakat.
Saat ini, ada 20 perusahaan antre mendapatkan izin eksplorasi CBM, di antaranya perusahaan swasta pemilik kuasa pertambangan batu bara. Pengembangan teknologi untuk mengekstrak sumber energi ini pertama kali dilakukan di Amerika Serikat, yakni Alabama dan Colorado Selatan pada akhir tahun 1980. Di Amerika, gas alam jenis CBM mencapai 7 persen dari total produksi. Negara lain yang sudah mengembangkan CBM antara lain Afrika Selatan, Australia, dan Kanada. (Persda Network/domu damians ambarita)
Sumber: Kompas on Domu Damians Ambarika - 9 Juni 2008.

Rabu, 27 Mei 2009

EMP Raih 2 Kontrak Gas Metana Batubara di Kalimantan

Selasa, 05/05/2009 18:10 WIB
Alih Istik Wahyuni - detikFinance
Jakarta - PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) mendapat kontrak pengembangan blok Gas Metana Batubara (GMB) di Kalimantan. Kedua kontrak tersebut diperoleh ENRG melalui dua akan usahanya, yaitu PT Artha Widya Persada dan PT Visi Multi Artha.
ENRG memiliki 70% kepemilikan di PT Artha Widya Persada yang memiliki 100% kuasa pertambangan di Blok GMB Tabulako di Kalimantan Selatan. Selain itu ENRG juga memiliki 70% saham di PT Visi Multi Artha yang pada saat ini memiliki 60% kuasa pertambangan di Blok GMB Sangatta-2 di Kalimantan Timur. Sementara PT Pertamina Hulu Energi Metana Kalimantan B memiliki 40% kuasa pertambangan lainnya.
Sisa saham pada PT Artha Widya Persada dan PT Visi Multi Artha di miliki oleh PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Bonus tanda tangan yang diberikan ke pemerintah adalah sebesar US$ 1,5 juta untuk blok GBM Sangatta-2 dan US$ 1 juta untuk blok GMB Tabulako.
"ENRG dan BUMI berkomitmen untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan pengembangan pada blok-blok tersebut selama 6 tahun. Kedua kontrak tersebut berlaku selama 30 tahun sejak tanggal efektif kontrak," demikian disampaikan Presiden Direktur ENRG Christian V. Ponto dalam siaran pers yang diterima detikFinance, Selasa (5/5/2009).
Berdasarkan estimasi awal secara internal, Blok GMB Tabulako dan Blok GMB Sangatta-2 memiliki kombinasi sumber daya gas sebesar lebih dari 1.5 trilyun kaki kubik gas.
Gas Metana Batubara (GMB) adalah gas alam yang terkandung dalam batubara, dengan kandungan primernya berupa metana (CH4). Bersama mitra-mitranya, ENRG mengharapkan agar konsesi-konsesi ini dapat berdampak positif pada kinerja operasional dan finansial secara terkonsolidasi di masa mendatang.
"ENRG akan tetap fokus pada portfolionya di sektor hulu energi, dan kontrak baru di bidang Gas Metana Batubara ini akan mendiversifikasikan aktifitas bisnis perusahaan secara positif di dalam kegiatan hulu di sektor energi di Indonesia," katanya.

Regulasi Bisnis CBM di Indonesia

Secara umum, pengusahaan CBM di Indonesia mengacu pada rejim Migas. Karenanya, UU No 22 Tahun 2001 dan PP No.35 Tahun 2004 masih menjadi acuan umum, terutama mengenai bentuk dan pola PSC, di mana masing-masing blok CBM harus dikelola oleh satu badan hukum usaha. Perihal tatacara penawaran wilayah kerja pun mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No.35 tahun 2008, perihal tatacara penawaran WK migas.
Perbedaan yang mencolok dari bisnis CBM dibanding migas yaitu mengenai split antara kontraktor dengan Pemerintah. Dalam pengusahaan CBM, kontraktor mendapatkan split yang relatif besar, yakni sebesar 45% (bandingkan dengan minyak (15%) atau gas (30%)).
Berikut ini disajikan regulasi yang khusus terkait dengan bisnin CBM di Indonesia:

Peraturan Menteri No.36 Tahun 2008 merupakan revisi dari Peraturan Menteri No.33 Tahun 2006. Permen tersebut direvisi menyusul adanya berbagai persoalan terkait dengan tumpang tindih antara WK Migas dengan KP Batubara. Perubahan signifikan dari Permen 33 ke 36 adalah menyangkut persyaratan KP Batubara yang mendapatkan prioritas pertama dalam pengusahaan CBM di wilayah kerja yang tumpang tindih.

Dalam Permen ESDM No.36 Tahun 2008, dinyatakan dengan tegas bahwa hanya KP Batubara yang statusnya sudah eksploitasi selama tiga (3) tahun, yang mendapatkan prioritas pengusahaan CBM di wilayah tumpang tindih. Untuk KP yang statusnya masih penyelidikan umum atau pun eksplorasi, tidak mendapatkan kesempatan pertama dalam pengusahaan CBM tersebut.

Namun demikian, dalam pasal peralihan dinyatakan bahwa KP yang sudah mengajukan Evaluasi Bersama wilayah kerja CBM sebelum Permen 36 lahir, masih mendapatkan kesempatan pertama (meskipun statusnya belum eksploitasi). Hal ini membuat persoalan yang telah muncul sebelumnya menjadi tidak mudah untuk diselesaikan. WK Migas yang areanya tumpang tindih dengan WK CBM, masih harus mengakomodir KP-KP Batubara tersebut. Persoalan bertambah runyam, ketika melihat prosedur perijinan dan perpanjangan KP Batubara, sebelum UU Minerba No.4 Tahun 2009 lahir, berada di tingkat kabupaten/kota. Perpanjangan ijin KP di tingkat kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan sangat mudah, seolah tanpa kontrol dari aparat Pemda setempat.

Di luar persoalan tumpang tindih wilayah kerja tersebut, persoalan lain yang sifatnya teknis pun belum sepenuhnya diatur oleh Pemerintah. Saat ini, Pemerintah baru akan menyusun petunjuk pelaksanaan (Juklak) teknis, commersial dan legal, yang merupakan penjabaran dari Permen 36 tahun 2008 tersebut. Semoga berjalan lancar!

by : Mas Dira

Selasa, 26 Mei 2009

PHE Kembangkan Gas Metana Batubara

Dalam rangka mendukung program pemerintah untuk diversifikasi sumber energi serta peningkatan pasokan gas nasional, PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) bersama dengan PT. Kaltim Prima Coal (KPC) tandatangani Production Sharing Contract (PSC) untuk pengembangan Gas Metana Batubara (GMB) di Wilayah Kerja Blok Sangatta II milik PT.Pertamina EP dan PKP2B milik KPC. Penandatangan tersebut dilakukan bertepatan dengan pembukaan Indonesian Petroleum Association (IPA) Annual Convention & Exebition di Jakarta tanggal 5 Mei 2009.
Penandatanganan tersebut dilakukan oleh konsorsium anak perusahaan PHE dan KPC yaitu PT. PHE Metana Kalimantan B dan PT. Visi Multi Arta (70% sahamnya dimiliki EMP) yang masing-masing memegang Participating Interes sebesar 40% dan 60%. Setelah menandatangani PSC tersebut maka konsorsium akan melakukan komitmen masa eksplorasi selama 3 tahun pertama dengan melakukan pemboran 4 core-hole dan 4 sumur eksporasi dengan perkiraan nilai investasi sebesar USD 10 juta.
"Penandatanganan ini menunjukkan komitmen Pertamina untuk terjun dalam bisnis GMB yang merupakan salah satu sumber energi alternatif pilihan untuk program diversifikasi dan diharapkan mampu mengatasi shortage kebutuhan gas secara nasional," ujar Dwi Martono, selaku Direktur PT. PHE Metana Kalimantan B.
"Setelah masa eksplorasi selama 3 tahun ditambah tahap pengembangan selama 3 tahun, maka diharapkan produksi pertama gas GMB dari blok Sangatta II bisa on-stream pada tahun ke-7 dan sehingga dapat memasok kebutuhan gas untuk industi dan rumah tangga di sekitar wilayah operasi" tambah Dwi Martono. Bagi PHE, penandatanganan PSC GMB Blok Sangatta II ini merupakan perjanjian kerjasama PSC GMB kedua. Sebelumnya, melalui anak perusahaanya PT. PHE Metana Kalimantan A yang bekerjasama dengan PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo) telah menandatangani PSC untuk Blok Sangatta I.
GMB atau dikenal juga dengan CBM (Coal Bed Methane) kini mulai dilirik untuk dikembangkan setelah banyak pihak mulai menyadari kurangnya cadangan gas nasional. Menurut beberapa prediksi, di tahun 2025 sudah tidak mampu lagi mengimbangi tingginya tingkat kebutuhan gas dalam negeri, sementara itu sumber gas alam yang ada sudah memiliki komitmen suplai dengan pihak lain. Potensi cadangan gas metana di Indonesia setara dengan 453 TCF sehingga mampu membantu menutupi kekurangan cadangan gas nasional. Budi menambahkan, sebagian besar potensi sumber daya GMB Nasional tersebut ada di eksisting Wilayah Kerja (WK) migas Pertamina.
Luas WK tersebut mencapai kurang lebih 120 ribu kilometer persegi (± 120.000 km2), yang tersebar di daerah Jambi (cekungan Sumatera Tengah), Prabumulih (cekungan Sumatera Selatan), cekungan Barito, Kalimantan Selatan dan cekungan Kutai Kalimantan Timur (Sangatta, Bunyu, Tarakan dsk). GMB termasuk energi alternatif yang belum tergarap secara maksimal. Tingkat pemanfaatannya bahkan masih kurang dari 2 %, padahal CBM merupakan energi alternatif yang relatif murah dan dapat diperbaharui dengan tingkat kesulitan yang tidak rumit dibandingkan pengelolaan migas konvensional. Di beberapa negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 40 % kebutuhan energi dalam negeri sudah dipasok oleh CBM."Ke depan, PHE akan terus mengembangkan bisnis GMB di wilayah kerja GMB yang kebetulan overlap dengan wilayah kerja migas milik Pertamina di sejumlah blok, antara lain Blok Sumatera Selatan 1, Blok Sumatera Selatan 2, Sumatera Selatan 3, Blok Jambi dan Blok Suban" papar Dwi Martono dengan mantap.
Sumber : Pertamina.com - 6 Mei 2009

Gas Metana Batubara Indonesia Capai 450 TCF

Palembang, GhaboNews - Sumber daya gas metana batubara (GMB) di Indonesia cukup besar mencapai 450 triliun standar kaki kubik atau "trillion standard cubic feet" (TSCF), yang merupakan sumber daya kedua terbesar di dunia setelah China.
Kabag Hukum dan Perundang-undangan Departemen ESDM, Susyanto menyampaikan itu pada saat konsultasi penawaran wilayah kerja GMB di provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) dihadapan Wakil Gubernur Sumsel, Eddy Yusuf dan pejabat Dinas Pertambangan dan Energi di Palembang, Selasa.
Menurut dia, GMB dapat digunakan sebagai energi pengganti minyak bumi yang produksinya semakin menurun.Minat investor terhadap GMB ini baik di dalam negeri maupun luar negeri cukup besar, bahkan saat ini sudah ada tujuh WK GMB yang ditetapkan yakni lima di Kalimantan dan dua di wilayah Sumatra, katanya.
Ia menyatakan, untuk wilayah Sumsel yang ditawarkan wilayah kerja GMB yakni Musi Banyuasin (Muba) area dan Muara Enim area.
Pada pertemuan tersebut sejumlah pejabat di dinas pertambangan dan energi kabupaten di Sumsel meminta kejelasan mengenai titik koordinat batas-batas kabupaten sehubungan dengan penawaran kerja GMB di provinsi itu.

Sementara itu Wakil Gubernur Sumsel, H Eddy Yusuf mengatakan, GMB ini bukan batubaranya, tetapi gas metananya dan ini yang baru, jadi potensi gas metana ada di dua kepulauan yakni di Kalimantan dan Sumatera. Untuk Sumsel sendiri dibagi menjadi dua blok yakni blok Muara Enim area dan blok Muba area ini yang ditawarkan, nanti mereka akan mengadakan penelitian dan memantapkan titik-titik koordinat wilayahnya baru setelah itu koordinasi lagi dengan bupati-bupati masing-masing. Sekarang ini, investor yang ada sudah lebih dari dua dan memang potensi GMB di Sumsel ada, tetapi tidak sebanyak yang berada di Kalimantan, ujarnya pula tanpa menyebut berapa besar potensi GMB di provinsi tersebut.
Sumber : Antara - 7 April 2009

6 Kontrak Gas Metana Batubara Diteken Mei 2009

JAKARTA - Enam kontrak kerja sama wilayah kerja gas metana batu bara (coal bed methane/CBM) akan ditandatangani pada Mei mendatang.
"Selain bagi hasil, kami juga sedang membahas insentif lain berupa keringanan pajak," ujar Dirjen Migas Evita Legowo, dalam acara The 2nd CBM World di Hotel Mulia, seperti dikutip dari situs resmi Ditjen Migas, di Jakata, Selasa (10/3/2009).
Untuk itu, lanjut Evita, untuk mendorong pengembangan CBM, pemerintah telah menyiapkan sejumlah insentif. Antara lain dengan memberikan bagi hasil yang menarik bagi investor yaitu 55 persen untuk pemerintah dan 45 persen untuk investor.
Dengan demikian, bagi hasil tersebut merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan bagi hasil di migas. Untuk minyak, bagi hasilnya adalah 85 untuk pemerintah dan 15 persen untuk investor. Sedangkan untuk gas, 70 persen untuk pemerintah dan 30 persen untuk investor.
Untuk 2009, pemerintah merencanakan untuk dilakukan penandatangan 14 kontrak CBM. Hingga saat ini 7 wilayah kerja CBM telah ditandatangi yaitu blok GMB Sekayu, Blok GMB Indragiri Hulu, Blok GMB Barito Banjar II, Blok GMB Bentian Besar), Blok GMB Sangatta I dan Blok GMB Kutai*).
Sebanyak 54 investor telah mengajukan permintaan untuk mengembangakn CBM. Dari jumlah tersebut, hanya 33 proposal yang memenuhi persyaratan.
Penawaran WK CBM dilakkan melalui penawaran langsung (direct offer) dan lelang (tender). Karena berbagai kendala, baru sistem penawaran langsung yang digunakan untuk CBM. NAmun diharapkan, pada akhir 2009, penawaran WK melalui lelang dapat dilakukan. (rhs)
Note: *) Dua blok berada di Sumatra, lima di Kalimantan. Per awal Mei 2009, Blok GMB Sangatta II (40% PHE dan 60% EMP Group) dan Blok GMB Tabulako (100% EMP Group) sudah ditandatangani.
Sumber : Okezone - 10 Maret 2009

Tiga Titik Gas Metana Batubara di Kaltim

BALIKPAPAN - Pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional, di antaranya adalah dengan cara kegiatan survei maupun joint study di daerah terbuka melalui kontrak kerja sama wilayah kerja Gas Metana Batubara (GMB) atau Coal bed Methane (CBM).
Kepala Perwakilan BP Migas wilayah Kalimantan Sulawesi, Agus Suryono mengatakan dari kerja sama GMB oleh pemerintah pusat dan investor, Provinsi Kaltim mendapat tiga titik GMB yang akan disurvei.
Satu kontrak kerja sama GMB hasil penawaran langsung tahap I tahun 2008, berada di wilayah kerja South East Sangatta dengan kontraktor konsorsium PT Kutai Timur Resources – Salamander Energy (SE Sangatta) Ltd.
Dua lainnya dari kontrak kerja sama hasil lelang tahun 2007/2008. Yakni wilayah kerja GMB Kutai oleh Konsorsium Kutai West CBM Inc – Newton Energy Capital Limited dan GMB Sangatta I oleh Konsorsium PT Pertamina Hulu Energi Metana Kalimantan A – Sangatta West CBM Inc.
"Dalam kerja sama hasil lelang tahun 2007/2008, terdapat empat wilayah kerja lain yang masuk dalam wilayah kerja BP Migas Kalimantan Sulawesi. Yakni GMB Barito Banjar I oleh PT Indobarambai Gas Methan dan GMB Barito Banjar II oleh PT. Barito Basin Gas. Jadi dua titik di Kaltim, dua lainnya di Kalsel," kata Agus saat ditemui Tribun, Senin (17/11).
Lebih jauh, komitmen pasti eksplorasi WK GMB dari keempat perusahaan tersebut untuk tiga tahun pertama masa eksplorasi, berupa Study G&G sebesar 650.000 dolar AS, 13 pemboran sumur eksplorasi sebesar 11,129 juta dolar AS ditambah 14 coring sebesar 3,638 juta dolar AS serta Pilot Project Phase I (dewatering dan production test) sebesar 900.000 doalr AS.
Sehingga total investasi yang ditanamkan untuk GMB ini, sebesar 16,31 juta dolar AS. Sedangkan bonus tandatangan (Signature Bonus) yang akan diterima langsung oleh Pemerintah adalah sebesar 4 juta dolar AS.
"Perlakuannya sama seperti kegiatan migas. Ada komitmen dalam tiga tahun, baru seismik dan pengeboran. Sehingga untuk mengetahui besaran cadangan GMB di dalamnya baru, harus menunggu tiga tahun lagi," ujar Agus.

Gas Metana Batubara di Kaltim
Wilayah Kerja Kontraktor
- South East Sangatta : PT Kutai Timur Resources – Salamander Energy (SE Sangatta) Ltd.
- GMB Kutai : Kutai West CBM Inc – Newton Energy Capital Ltd.
- GMB Sangatta I : PT PHE Metana Kalimantan A – Sangatta West CBM Inc.
Sumber : Tribun Kaltim - 18 November 2008

Penandatanganan 2 KKS WK Gas Metana Batubara

Penandatangan 2 (dua) Wilayah Kerja Gas Metana Batubara melalui Penawaran Langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batubara terdiri dari Konsorsium PT. Samantaka Mineral Prima pada wilayah eksisting 11 Kuasa Pertambangan (KP) Batubara di Provinsi Riau menjadi 1 (satu) Wilayah Kerja Gas Metana Batubara dan Konsorsium PT. Ridlatama Mining Utama pada wilayah eksisting 4 KP Batubara juga menjadi 1 (satu) Wilayah Kerja Gas Metana Batubara.
Pelaksanaan evaluasi bersama atas kedua wilayah kerja melalui Penawaran Langsung Wilayah Kerja Gas Metana Batubara telah dilaksanakan bulan September 2007 s/d Januari 2008. Hasil Evaluasi Bersama, pembahasan ketentuan pokok kerjasama dan bentuk Kontrak Kerja Sama telah dilakukan oleh Tim Penilai Wilayah Kerja Gas Metana Batubara berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 040 tahun 2006 dan Nomor 33 Tahun 2006.Adapun Wilayah Kerja Gas Metana Batubara dan nama perusahaan yang ditetapkan untuk menandatangani KKS baru hasil Penawaran Langsung adalah sebagai berikut:
  1. GMB Indragiri Hulu, Riau - Konsorsium PT. Samantaka Mineral Prima
  2. GMB Bentian Besar, Kalimantan Timur - Konsorsium PT. Ridlatama Mining Utama
Ketentuan pokok kerjasama yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk kedua Wilayah Kerja yang ditandatangani antara lain meliputi: Bagi hasil produksi antara Pemerintah dengan Kontraktor adalah 60 : 40 (Konsorsium PT Samantaka Mineral Prima) dan 55 : 45 (Konsorsium PT Ridlatama Mining Utama) setelah pajak-pajak; FTP keduanya 10 % (non-share); Cost Recovery maksimum 90% setelah produksi komersial selama kontrak.
Komitmen pasti eksplorasi wilayah kerja Gas Metana Batubara dari kedua perusahaan tersebut untuk 3 (tiga) tahun pertama masa eksplorasi berupa Study G&G sebesar US$ 400 ribu, 20 (dua puluh) pemboran sumur eksplorasi + coring dengan investasi sebesar US$ 12,4 juta, Pilot Project Phase I (dewatering dan production test sebanyak 20 (dua puluh) kali dengan investasi sebesar US$ 200 ribu, sehingga total investasi adalah sebesar US$ US$ 13 juta. Sedangkan bonus tandatangan (Signature Bonus) yang akan diterima langsung oleh Pemerintah adalah sebesar US$ 2 juta.
Sampai dengan saat ini sudah terdapat 54 (lima puluh empat) perusahaan yang telah mengajukan permohonan Wilayah Kerja Gas Metana Batubara (GMB) melalui Penawaran Langsung di daerah Sumatera dan Kalimantan. Dimana terhadap BU/BUT yang telah mendapatkan persetujuan Evaluasi Bersama atau Studi Bersama, sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ESDM tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara yang baru, tetap diproses sesuai ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 033 Tahun 2006. Terhadap usulan BU/BUT yang telah diajukan untuk melaksanakan Evaluasi Bersama atau Studi Bersama tetap dilaksanakan proses persetujuannya dengan mengacu kepada Peraturan Menteri yang baru.
Sumber: DESDM - 26 Juni 2008

Gas Metana Batubara Dijual Tahun 2009

Palembang - Hasil produksi gas metana batubara (Coal Bed Methana) atau CBM, yang diproduksi Lemigas dan Medco siap dijual 2009. Rencananya hasil produksi CBM ini akan dipasarkan untuk industri disekitar Sumatra Selatan termasuk Pusri dan PLN.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Hadi Purnomo dalam acara peninjauan sumur CBM di Kabupaten Muara Enim, di sumur Rambutan, Sumatra Selatan, Rabu (30/4/2008)."Paling tidak tahun 2009 hasil produksi bisa mulai ditawarkan khususnya untuk industri di sekitar sini," ujar Hadi. Untuk tahap awal, volume gas yang akan dijual sebesar 1 juta kaki kubik per hari.
"Yang paling memungkinkan gasnya dialiri ke pabrik Pusri, karena pipa gas milik Medco ada yang sudah terhubung dengan pipa gas Pusri," tambahnya.
Meskipun untuk memasok kebutuhan gas bagi Pupuk Sriwidjaya (Pusri) khususnya, lanjut Hadi, memerlukan kapasitas yang lebih besar, paling tidak ia mengharapkan gas CBM yang di produksi di sumur Rambutan bisa diserap oleh PLN dan industri sekitar.
Ia menambahkan, sumur gas metana batubara yang dikembangkan Medco dan Lemigas mampu digenjot produksinya selama kurang lebih 13,7 tahun dengan volume konstan, atau tidak seperti produksi sumur gas bumi konvensional yang cenderung mengalami penurunan setiap tahun.
"Volume produksinya akan terus flat selama 13,7 tahun di kisaran 200 ribu kaki kubik per hari," kiranya.Sayangnya pihak Medco atau Lemigas masih enggan mengemukan harga gas metana ini pada saat di pasarkan nantinya. Namun bila berpatokan pada estimasi awal proyek ini, harganya diperkirakan mencapai US$ 3,5 per MMBTU.
"Awal perkiraan kami sejak proyek ini dimulai pada 2003 lalu, harga gas CBM dari lapangan ini berkisar US$ 3,5 per mmbtu," imbuhnya.
Sumber: Detik Finance - 30 April 2008