Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi CBM ke dua terbesar di dunia, dengan perkiraan cadangan sebesar 453 TCF. Sampai saat ini, perkembangan bisnis CBM di Indonesia dapat dikatakan masih dalam tahap inisiasi.
Sebagai bisnis baru di bidang energi fosil, khususnya di Indonesia, bisnis CBM mengandung banyak resiko. Paper ini akan mengangkat resiko dari sisi regulasi dan implikasinya terhadap penurunan produksi migas Indonesia di masa mendatang.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 dan revisinya No. 36 Tahun 2008, wilayah pengembangan CBM meliputi wilayah terbuka, wilayah PKP2B dan KP batubara serta WK Migas. Konsekuensinya, wilayah-wilayah pertambangan maupun migas eksisting menjadi terbuka dan resiko tumpang tindih wilayah kerja tidak dapat dihindari.
Kondisi ini mengandung beberapa resiko. Dampak yang nyata dari resiko permukaan (surface) akibat tumpang tindih dengan PKP2B dan KP Batubara adalah rusaknya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, akibat eksploitasi batubara. Resiko bawah permukaan (subsurface) akibat tumpang tindih WK Migas dengan WK CBM juga akan timbul karena ada kemungkinan dihasilkan migas & CBM secara bersamaan, terutama pada reservoir yang relatif dangkal.
Di samping itu, terdapat resiko administrasi pertanahan dan infrastruktur penunjang. Untuk pengembangan CBM, diperlukan relatif lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi pada luas area yang sama. Oleh karena itu, pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpang tindih memiliki resiko yang cukup tinggi.
Mitigasi ketiga resiko tersebut harus disiapkan sejak dini untuk menantisipasi kegiatan operasional yang berjalan bersamaan. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka produksi migas di lapangan migas eksisting akan menurun. Lebih jauh, hal ini akan berdampak pada terganggunya produksi migas nasional di masa depan.
Melihat strategisnya persoalan tersebut, penulis memandang perlunya dibuat suatu peraturan perudang-undangan, minimal setingkat peraturan menteri, untuk mengatur kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest) di tingkat operasional dalam pengusahaan minyak & gas bumi, CBM dan batubara.
Sebagai bisnis baru di bidang energi fosil, khususnya di Indonesia, bisnis CBM mengandung banyak resiko. Paper ini akan mengangkat resiko dari sisi regulasi dan implikasinya terhadap penurunan produksi migas Indonesia di masa mendatang.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 dan revisinya No. 36 Tahun 2008, wilayah pengembangan CBM meliputi wilayah terbuka, wilayah PKP2B dan KP batubara serta WK Migas. Konsekuensinya, wilayah-wilayah pertambangan maupun migas eksisting menjadi terbuka dan resiko tumpang tindih wilayah kerja tidak dapat dihindari.
Kondisi ini mengandung beberapa resiko. Dampak yang nyata dari resiko permukaan (surface) akibat tumpang tindih dengan PKP2B dan KP Batubara adalah rusaknya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, akibat eksploitasi batubara. Resiko bawah permukaan (subsurface) akibat tumpang tindih WK Migas dengan WK CBM juga akan timbul karena ada kemungkinan dihasilkan migas & CBM secara bersamaan, terutama pada reservoir yang relatif dangkal.
Di samping itu, terdapat resiko administrasi pertanahan dan infrastruktur penunjang. Untuk pengembangan CBM, diperlukan relatif lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi pada luas area yang sama. Oleh karena itu, pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpang tindih memiliki resiko yang cukup tinggi.
Mitigasi ketiga resiko tersebut harus disiapkan sejak dini untuk menantisipasi kegiatan operasional yang berjalan bersamaan. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka produksi migas di lapangan migas eksisting akan menurun. Lebih jauh, hal ini akan berdampak pada terganggunya produksi migas nasional di masa depan.
Melihat strategisnya persoalan tersebut, penulis memandang perlunya dibuat suatu peraturan perudang-undangan, minimal setingkat peraturan menteri, untuk mengatur kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest) di tingkat operasional dalam pengusahaan minyak & gas bumi, CBM dan batubara.
by: Mas Dira
Sejauh ini, upaya Pemerintah baru pada sampai tahap pembuatan juklak Permen 36 th 2008, salah satunya untuk mengatur kemungkinan terjadinya irisan dalam pengusahaan migas, CBM dan batubara. Tetapi menurut hemat sy, itu tidak cukup. Mengingat di dalam Permen 36 itu sendiri tdk mengatur kemungkinan benturan di tingkat operasional, namun hanya sebatas pd mekanisme pengajuan WK CBM oleh WK Migas vs KP batubara.
BalasHapusSemoga Pemerintah dpt mengupayakannya.
salam kenal
BalasHapussaya senang membaca tulisan-tulisan anda dalam blog ini. ini membantu saya dalam membuat kajian, analisa tentang karakter cbm itu sendiri.
terima kasih
kaylani
analis kppu
Mas Cha-Cha, Menurut saya permasalahan ini bisa dipisahkan berdasarkan metode tambang mana yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan antara tambang Terbuka dengan pengusahaan CBM. Prospek CBM di Indonesia berkisar pada kedalaman 250 Meter hingga 1000 meter, sebaiknya dapat dipilah area tambang batubatara mana yang di alokasikan untuk tambang terbuka ataukah untuk area lapangan pengembangan CBM. seperti yang saya ketahui untuk mengembangkan lapangan CBM kita memerlukan lokasi permukaan yang luas karena kita membutuhkan jumlah sumur yang banyak karena rata-rata produksi sumur CBM relatif kecil < 1MMscf. Sehingga kalau permasalahan kewenangan sudah tidak timpang tindih maka usaha ini sangat berpotensi besar dan tidak menimbulkan kerugian dikedua belah pihak. Memproduksikan methane juga akan menguntungkan tambang terbuka karena gas emisi telah dimanfaatkan sehingga lapisan batubara aman untuk ditambang. jadi jelas antara pengembangan CBM dan tambang terbuka dapat saling menguntungkan =)
BalasHapus“A leader in well testing and early production facilities for the oil & gas industry”
BalasHapusAs a group company with world-class capabilities in well testing and fluid, our top priority is to offer the best service for business-based energy and resources in Indonesia. Dwipa Group was established as a company providing Non Destructive Testing for the oil and gas industry. We believe that through commitment, determination and passion for growth, opportunities are endless.
Tergantung kebijakan pemerintah yg akan datang
BalasHapus