Senin, 10 Agustus 2009

Pertamina Dapatkan PSC CBM ke Dua

PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai armlength business PT Pertamina (Pesero) Direktorat Hulu terus berupaya melakukan sejumlah terobosan.Salah satu terobosan tersebut diwujudkan melalui pengajuan Wilayah Kerja PSC Gas Metana Batubara (GMB) yang sudah ditandatangani melalui Production Sharing Contract (PSC) GMB di wilayah Block Sangatta 2 bersama dengan PT Visi Multi Artha, anak perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC).
"Untuk pengamanan aset existing migas tidak ada cara lain selain terjun dalam bisnis GMB yang merupakan salah satu sumber energi alternatif pilihan untuk program diversifikasi dan diharapkan mampu mengatasi shortage kebutuhan gas secara nasional, "ujar Dwi Martono, Direktur PT. PHE Metana Kalimantan B.
"Setelah menandatangani PSC tersebut, maka konsorsium akan melakukan komitmen masa eksplorasi selama tiga tahun pertama dengan melakukan pemboran empat core-hole dan empat sumur eksporasi dengan perkiraan total nilai investasi sebesar 10 juta dolar AS selama tiga tahun pertama," jelas Dwi.
Dwi melanjutkan, setelah masa eksplorasi selama tiga tahun pertama, apabila dipandang masih belum menemukan dan menghasilkan cadangan gas metana batubara, secara ekonomis masih diberikan kesempatan untuk eksplorasi tahap kedua selama tiga tahun berikutnya.
"Apabila berhasil, maka diharapkan produksi pertama gas GMB dari Blok Sangatta II bisa on stream pada tahun ke-7 sehingga dapat memasok kebutuhan gas untuk industri dan rumah tangga di sekitar wilayah operasi di Kalimantan Timur, tambah Dwi Martono.
Bagi PHE, penandatanganan PSC GMB Blok Sangatta II ini merupakan perjanjian kerjasama PSC GMB kedua. Sebelumnya, melalui anak perusahaannya, yaitu PT PHE Metana Kalimantan A yang bekerjasama dengan Sangatta West CMB Inc, telah menandatangani PSC untuk Blok Sangatta I. "Dan akan menyusul untuk daerah di Sumatera Selatan Blok 1, 2 dan 3 melalui metoda kerjasama dengan pihak Partner,"ujar Dwi.
Dwi memaparkan, GMB atau dikenal juga dengan CMB (Coal Bed Methane) kini mulai dilirik untuk dikembangkan setelah banyak pihak mulai menyadari kurangnya cadangan gas nasional.
"Di beberapa negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 40 persen kebutuhan energi dalam negeri sudah dipasok oleh CBM, termasuk di dalamnya pasokan gas rumah tangga dan pembangkit listrik,"ungkap Dwi.
"Ke depan, PHE akan terus mengembangkan bisnis GMB, khususnya di wilayah kerja GMB yang mengalami overlap dengan wilayah kerja migas milik Pertamina di sejumlah blok, antara lain Blok Sumatera Selatan 1, Sumatera Selatan 2, Sumatera Selatan 3, Jambi dan Suban," papar Dwi Martono.

Rabu, 17 Juni 2009

Gas Metana Batubara (CBM) Menelan Korban

Gas metana batubara, atau dikenal juga dengan coalbed methane (CBM), atau sebagian menyebutnya coal seam gas, adalah gas CH4 yang terkandung dalam lapisan batubara. Gas tersebut ter-adsorpsi (terserap dangkal) di permukaan matriks dan pori-pori batubara. Dalam penambangan batubara, khususnya tambang bawah tanah, gas tersebut seringkali menimbulkan ledakan, apabila terkena gesekan atau percikan api.
Beberapa hari yang lalu, terjadi ledakan yang menewaskan lebih dari 32 orang penambang rakyat, di Sumatra Barat. Berikut petikan beritanya:
Sejak 1997, Lebih dari 1000 Penambang Tewas di Kawasan yang Sama
Ledakan tambang yang menimbulkan banyak korban jiwa di kawasan Bukit Bual, Nagari V Koto, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar) ternyata bukan baru kali ini saja terjadi. Bahkan sejak 1997, diperkirakan sudah hampir 1000 penambang tewas karena berbagai sebab di kawasan itu.
Hal itu diungkapkan manajer Satkorlak Penanggulangan Bencana Sumbar, Ade Edward, saat berbincang-bincang dengan detikcom melalui telepon, Rabu (17/6/2009).
"Korban kali ini memang yang terbesar. Namun kejadian seperti ini bukan yang pertama di kawasan itu. Sejak 1997, hampir 1000 penambang rakyat tewas dengan penyebab yang sama, yakni pekerja yang tidak memenuhi kualifikasi dan peralatan yang tidak memenuhi standar penambangan yang aman. Besarnya korban jiwa itu boleh ditanyakan pada masyarakat sekitar," ujarnya.
Ade mengatakan, penambangan yang dilakukan oleh masyarakat itu sangat tinggi risikonya. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan alat yang digunakan para penambang. Apalagi para penambang itu melakukan penambangan dalam dengan membuat lorong hingga 300 meter ke dalam tanah.
Lebih lanjut Ade mengatakan, meski hampir setiap minggu selalu ada korban jiwa, namun masyarakat nyaris tidak pernah melaporkannya pada pihak yang berwenang. Begitu ada korban tewas, mereka berupaya menyembunyikan dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Tujuannya jelas untuk menghindari tindakan dari pihak berwenang dan aktivitas penambangan di sana tetap berlangsung.
"Ledakan gas metan kali ini juga terjadi karena pelanggaran yang dilakukan pengelalola dan pekerja tambang rakyat itu. Pemerintah kota Sawahlunto pada Desember lalu sudah mengingatkan bahwa ada peningkatan kadar gas metan sampai 2 persen yang sangat berbahaya bagi aktivitas penambangan namun tidak diacuhkan," ujar Ade yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumbar.
Ade mengatakan, pemerintah daerah harus secepatnya menghentikan penambangan yang dilakukan masyarakat di sana. Selain berbahaya, areal pertambangan itu juga dikuasai negara.
"Saya tidak mengatakan bahwa kawasan itu tidak dapat diekploitasi. Ke depan, proses penambangan benar-benar harus dilakukan oleh para pekerja yang memenuhi kualifikasi, cara kerja standar dan menggunakan peralatan yang memenuhi tuntutan keamanan," tukasnya.
Sumber: detik.com - Rabu 17 Juni 2009

Selasa, 16 Juni 2009

Perjudian Bisnis Dua Mantan Top Profesional di Bidang Migas

Setelah malang melintang sebagai profesional top di perusahaan migas multinasional, W. Yudiana Ardiwinata dan Sammy Hamzah memberanikan diri terjun sebagai pengusaha migas di bidang yang sama sekali baru: coal bed methane. Bagaimana kans mereka di bisnis berisiko tinggi ini?
Pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan bijak ini menjadi pegangan W. Yudiana Ardiwinata dan Sammy Hamzah untuk banting setir dan pindah kuadran. Bermodal pengalaman mereka yang panjang di perusahaan migas multinasional, plus pengetahuan dan jejaring yang luas, keduanya mengikat janji mengembangkan bisnis bersama.
Di industri migas, mereka berdua memang sarat pengalaman dan sama-sama eksekutif top. Terakhir, mereka bertemu dan berkolaborasi dalam satu grup usaha migas di bawah naungan raksasa minyak Chevron Corporation. Yudi memegang posisi Presdir PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), adapun Sammy sebagai VP Senior Business Services Chevron IndoAsia Business Unit. Seperti bisa dibaca dalam Wikipedia, CPI adalah anak perusahaan Chevron Corporation yang menggarap minyak di Riau. Sebelum diambil alih Chevron, perusahaan ini bernama Caltex Pacific Indonesia. CPI merupakan perusahaan minyak kontraktor terbesar di Indonesia, dengan produksi mencapai 2 miliar barel. Tahun 2005, Caltex diakuisisi oleh Chevron. Maka, sejak itu nama PT Caltex Pacific Indonesia resmi berubah menjadi PT Chevron Pacific Indonesia.
Dalam struktur organisasinya, CPI merupakan salah satu perusahaan di bawah payung Chevron IndoAsia Business Unit. Lebih lengkapnya, Chevron IndoAsia Business Unit mencakup bisnis migas yang membawahkan beberapa perusahaan, yakni: Chevron Indonesia Company (dulu bernama PT Unocal Indonesia); Chevron Pacific Indonesia; Chevron Makassar Ltd.; serta bisnis panas bumi yang digarap oleh Chevron Geothermal Indonesia, Chevron Geothermal Salak, Mandau Cipta Tenaga Nusantara, dan Chevron Geothermal Phillipines.
Bergabungnya biduk tempat Yudi dan Sammy berkarier membuat hubungan keduanya makin erat. Hingga tercetus suatu keinginan bersama untuk membentuk perusahaan sendiri. Tak mau menyia-nyiakan perjalanan karier mereka selama ini, bisnis yang mereka kembangkan tidak jauh dari kompetensi inti dan kapabilitas mereka, yakni bidang migas.
Sebelum memutuskan mendirikan usaha sendiri, Yudi sempat menolak tawaran jabatan komisaris CPI untuknya. Ia memilih mengundurkan diri. Begitu pula dengan Sammy. “Saya sudah menjadi profesional dan bekerja di perusahaan orang lain lebih dari 16 tahun. Jadi sekarang waktu yang tepat untuk mengembangkan bisnis sendiri,” ujar Sammy tegas.
Di Jl. Kemang Selatan 1E No. 17 Jakarta, embrio perusahaan dirumuskan. Di situ mereka banyak melakukan brainstorming dan perumusan konsep. Visi mereka adalah melahirkan perusahaan nasional pertama yang menggarap bisnis energi gas metana batu bara – yang lebih populer disebut coal bed methane (CBM).
Pada akhir 2005 berdirilah PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo), dengan komposisi saham fifty-fifty. Yudi sebagai Chairman dan Sammy sebagai Presiden & CEO. Ternyata, Ephindo bukan satu-satunya perusahaan yang mereka besut. Menurut Yudi, ada dua jenis bisnis lain di industri migas yang juga mereka garap, yakni bidang offshore deep sea water di bawah PT Black Gold Energy; dan jasa survei seismic marine lewat PT Emas Putih bekerja sama dengan BPPT dan Elnusa.
Mengapa Ephindo sebagai perusahaan utama mereka memilih CBM? Keduanya berkeyakinan bahwa potensinya masih sangat besar dibanding potensi migas konvensional yang tersisa. Dijelaskan Yudi, batu bara memang banyak mengandung gas, tapi gas yang ada di permukaan tambang batu bara, sudah keluar lebih dulu. Nah, CBM itu letaknya di dalam rekahan batu bara, yang dalamnya bisa 500 meter lebih, dan biasanya terselimuti air. Kalau dibor dengan cara dewatering, airnya akan tersedot membuat tekanannya menurun, sehingga gasnya keluar. “CBM merupakan proyek yang potensial, karena menjadi energi alternatif dari gas konvensional,” ucap Sammy, yang juga pendiri CBM Advisory Board.
Menurut penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Ditjen Migas Departemen ESDM, potensi CBM di Indonesia cukup luar biasa, mencapai 453,3 triliun kaki kubik (TCF). Sayangnya, masih sedikit pemain migas nasional yang menyatakan minatnya. Jadi boleh dibilang, Ephindo merupakan pionir. Padahal, di negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, India dan Cina, pengeboran CBM sudah dilakukan.
Selain potensinya masih sangat besar, berdasarkan sebuah hasil riset, CBM secara relatif bukan pula termasuk bisnis migas berbiaya tinggi. Bandingkan dengan unit bisnis migas konvensional, yang membutuhkan teknologi baru dan investasi besar. Contohnya, investasi untuk bisnis deep sea water bisa mencapai US$ 200 juta per sumur; sedangkan investasi untuk CBM hanya US$ 500 ribu-1,5 juta per sumur. “Bisnis ini cocok bagi perusahaan kecil seperti kami, karena tidak perlu investasi gila-gilaan,” ucap Sammy.
Meskipun menjanjikan keuntungan yang besar, diakui Sammy, risikonya cukup tinggi. Pasalnya, sebagai pemain mereka belum mengetahui persis seberapa besar kandungan gasnya. Solusinya, perusahaan harus bisa memperbaiki informasi tentang besarnya cadangan (reservoir). Dengan informasi yang ada saat ini Ephindo dituntut bisa membuktikan bahwa potensi CBM bisa dimanfaatkan secara komersial. “Itu pekerjaan rumah yang akan kami lakukan,” kata pria kelahiran Jakarta 24 Januari 1963 dan mantan suami artis Desy Ratnasari itu.
Sebenarnya, untuk merangsang minat perusahaan lain terjun ke CBM, pemerintah telah memberikan tawaran split (bagi hasil) yang cukup menarik dalam kontrak, yakni 55% pemerintah dan 45% kontraktor. Bandingkan untuk migas, yang split-nya 70%:30% hingga 35%:65%, tergantung tingkat kesulitannya. “Pemerintah memberikan split yang lebih bagus dari bisnis migas (konvensional), karena CBM belum pernah dilakukan,” ujar Yudi.
Kendati CBM merupakan garapan bisnis baru dan risikonya tinggi, keduanya tetap optimistis Ephindo mampu. Sebab, diklaim Yudi, Ephindo memiliki mitra yang berpengalaman dan ahli di bidangnya. Saat ini, Ephindo sedang dalam proses due diligence dengan Arrow Energy, perusahaan asal Australia yang berpengalaman di proyek CBM. “Dengan adanya partner yang tangguh dan orang yang ahli, kami optimistis ini akan berhasil,” kata pria kelahiran Garut 6 November 1949 ini.
Selain itu, optimisme Yudi juga karena ditopang pengalaman dan jejaring yang luas. “Saya tahu siapa-siapa saja orang yang dibutuhkan dan harus dihubungi,” bapak tiga anak dan kakek lima cucu ini menandaskan. Ditambahkan Sammy, integritas dan konsistensi juga akan menjadi kunci keberhasilan mereka menekuni bisnis CBM ini.
Rencananya, Ephindo siap melakukan proyek pengeboran CBM mulai 2009 ini di Kalimantan dan Sumatera. Menurut Yudi, nilai proyek Sangatta Block di Kal-Tim mencapai US$ 6 juta. Nantinya, bersama dengan Pertamina, Ephindo akan menggandeng Arrow Energy. Sementara itu, proyek di Sekayu Block Sum-Sel ada dua sumur yang akan digali. Pengerjaan proyeknya bekerja sama dengan Medco dan McLaren Resource Inc. “Investasinya memang sangat besar. Selain dari kantong perusahaan sendiri, pendanaannya juga melalui kerja sama dengan beberapa partner,” ungkap Yudi.
Meskipun fokus pada CBM, Ephindo masih memegang pula proyek migas konvensional di Kutai Block, Kal-Tim. Tahun ini, bekerja sama dengan Serica Energy dan Salamander Energy, Ephindo hendak melakukan drilling (pengeboran) yang nilainya hingga US$ 3 juta. “Jika hasil bornya bagus, kami bisa lebih besar lagi karena ada offshore dan onshore,” katanya penuh harap.
Tak hanya itu. Ephindo pun punya rencana melebarkan sayapnya ke bisnis turunan migas, seperti SPBG, antara lain dengan menjadi agen Pertamina. “Kami terus berupaya melihat berbagai peluang. Termasuk sedang menjajaki masuk ke bisnis LPG untuk mendirikan SPBG,” ungkap Yudi. Lewat dua anak perusahaannya, Ephindo sudah mendapat izin mendirikan SPBG di Sukabumi dan Palembang.
Kolaborasi Yudi dan Sammy, dalam penilaian Noke Kiroyan, merupakan pasangan sempurna untuk membangun perusahaan migas. Menurut mantan Presdir Kaltim Primacoal ini, sosok Yudi tidak perlu diragukan lagi di bidang migas. Adapun Sammy, Noke mengaku sudah kenal lama ketika satu perusahaan di Siemens di mana Sammy menjabat Direktur Eksekutif Keuangan dan Administrasi. “Mereka adalah kombinasi yang baik. Pak Yudi berpengalaman dalam migas. Satu lagi eksekutif yang andal dalam administrasi dan keuangan,” ujar Noke memuji.
Noke melihat prospek Ephindo ke depan bakal sangat bagus dari dua bidang yang digeluti. Pertama, ia menilai bisnis CBM merupakan hal yang baru tapi sangat menjanjikan. Kedua dari migas, bidang ini sangat cocok dengan keahlian dua pendiri perusahaan. “Mereka sangat jeli melihat peluang,” ujar Noke.
Di mata Budi Basuki, salah satu mitra bisnis Ephindo, Yudi dan Sammy merupakan profesional yang telah membuktikan keberhasilannya memimpin perusahaan minyak besar dan terpandang. Menurut Budi, mereka berdua juga aktif di berbagai organisasi profesi atau asosiasi di bidang migas. “Proyek CBM Ephindo bersama Medco di Sum-Sel sangat baik, tidak hanya karena potensi cadangannya yang besar ataupun lokasinya yang dekat infrastruktur pipa gas, melainkan pula sebagai perusahaan yang pertama kali mendapatkan blok CBM yang dimotori oleh orang-orang yang sangat berpengalaman di industri migas,” papar Direktur Aset Produksi PT Medco E&P Indonesia, memberi penilaian. Menurut Budi, Medco tertarik untuk melakukan kerja sama setara dengan Ephindo yang sebenarnya perusahaan baru seumur jagung, karena melihat kompetensi pemimpinnya, begitu pula kapabilitas perusahaan yang mempunyai kesamaan tujuan untuk mengembangkan potensi CBM.
Ungkapan senada dikemukakan Pudjo Suwarno. Menurut Direktur Operasional PT MedcoEnergi CBM Indonesia ini, tidak banyak pengusaha nasional yang secara pribadi berani mempertaruhkan uang (aset)-nya untuk terjun ke dunia migas yang penuh resiko. Terutama CBM yang di Indonesia masih sangat baru, berisiko tinggi dan belum ada yang benar-benar mempunyai pengalaman. “Saya pikir, kedua sosok itu merupakan orang-orang yang serius dan berkomitmen terhadap pengembangan industri migas, khususnya CBM,” ucap Pudjo.
Pudjo juga melihat, mereka memulai terjun ke industri migas ini dengan benar, yakni melalui kemitraan. Terutama dengan pemain nasional yang sudah cukup kuat. “Mereka memberi banyak masukan pemikiran untuk membuat industri ini lebih baik dan menarik bagi para investor,” katanya lagi menilai.
Sumber: SWA - Kamis, 02 April 2009
Oleh : A. Mohammad B.S. & Moh. Husni Mubarak

Minggu, 14 Juni 2009

Regulasi Bisnis CBM dan Prediksi Dampaknya terhadap Penurunan Produksi Migas Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi CBM ke dua terbesar di dunia, dengan perkiraan cadangan sebesar 453 TCF. Sampai saat ini, perkembangan bisnis CBM di Indonesia dapat dikatakan masih dalam tahap inisiasi.
Sebagai bisnis baru di bidang energi fosil, khususnya di Indonesia, bisnis CBM mengandung banyak resiko. Paper ini akan mengangkat resiko dari sisi regulasi dan implikasinya terhadap penurunan produksi migas Indonesia di masa mendatang.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 33 Tahun 2006 dan revisinya No. 36 Tahun 2008, wilayah pengembangan CBM meliputi wilayah terbuka, wilayah PKP2B dan KP batubara serta WK Migas. Konsekuensinya, wilayah-wilayah pertambangan maupun migas eksisting menjadi terbuka dan resiko tumpang tindih wilayah kerja tidak dapat dihindari.
Kondisi ini mengandung beberapa resiko. Dampak yang nyata dari resiko permukaan (surface) akibat tumpang tindih dengan PKP2B dan KP Batubara adalah rusaknya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, akibat eksploitasi batubara. Resiko bawah permukaan (subsurface) akibat tumpang tindih WK Migas dengan WK CBM juga akan timbul karena ada kemungkinan dihasilkan migas & CBM secara bersamaan, terutama pada reservoir yang relatif dangkal.
Di samping itu, terdapat resiko administrasi pertanahan dan infrastruktur penunjang. Untuk pengembangan CBM, diperlukan relatif lebih banyak sumur dibandingkan minyak dan gas bumi pada luas area yang sama. Oleh karena itu, pembebasan lahan, baik untuk lokasi sumur, akses jalan, maupun pembangunan fasilitas produksi, pada area tumpang tindih memiliki resiko yang cukup tinggi.
Mitigasi ketiga resiko tersebut harus disiapkan sejak dini untuk menantisipasi kegiatan operasional yang berjalan bersamaan. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka produksi migas di lapangan migas eksisting akan menurun. Lebih jauh, hal ini akan berdampak pada terganggunya produksi migas nasional di masa depan.
Melihat strategisnya persoalan tersebut, penulis memandang perlunya dibuat suatu peraturan perudang-undangan, minimal setingkat peraturan menteri, untuk mengatur kemungkinan benturan kepentingan (conflict of interest) di tingkat operasional dalam pengusahaan minyak & gas bumi, CBM dan batubara.
by: Mas Dira